Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi, Sahabat, DanTabi’in
1. Masa Nabi (13 SH.-11 H.)
Keistimewaan bagi umat pada masa Nabi yaitu mereka dapat secara langsung memperoleh hadis dari Nabi sebagai sumber hadis karena tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat pertemuan mereka. Tempat-tempat pertemuan yang biasa digunakan Rasulullah cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar), dan ketika muqim (berada di rumah). Rasulullah menyampaikan hadis tersebut melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir)-nya yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat baik secara langsung maupun tidak langsung.[1]
Ada beberapa cara dan peristiwa Rasulullah dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
a. Melalui para jama’ah pada pusat pembinaan yang disebut majlis al-‘ilmi. Dari sini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi saw.
b. Melalui para sahabat tertentu yang kemudian disampaikan hadis tersebut kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang baik karena kebetulan maupun disengaja oleh beliau sendiri.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[2]
d. Pada peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah, lalu beliau menerangkan hukumnya.
e. Pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh kaum Muslimin, kemudian mereka menanyakan tentang hukumnya kepada Rasulullah.
f. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para sahabat mengenai apa yang terjadi atau dilakukan oleh Rasulullah.[3]
Nabi memberikan ceramah tidak hanya pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga pada waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika keadaan menghendaki. Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ibnu Mas’ud:
كَا نَ النَّبِيُّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّ لُنَا بِالْمَوْعِظَةِ تِلْوُ الْمَوْعِظَةِ فِى الْأَيَّامِ، كَرَاهَةَ السَّأَمَةِ عَلَيْنَا.
“Nabi saw. selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk memberikan pelajaran supaya kami tidak bosan.”[4]
Selain itu, agar para sahabat benar-benar mampu mengemban tanggung jawab, maka Nabi saw menempuh beberapa metode dan jalan hikmah. Dr. Nuruddin ‘Itr, dalam bukunya ‘Ulum Al-Hadits menjelaskan di antara metode beliau tersebut adalah:
a. Nabi tidak menyampaikan hadis secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit agar dapat meresap dalam hati.
b. Nabi tidak berbicara panjang lebar, melainkan dengan sederhana.
c. Nabi seringkali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-orang yang mendengarnya.[5]
2. Masa Sahabat (12 H.-40 H.)
Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang dan tampak adanya pembatasan. Para ulama menganggapnya sebagai al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah.[6] Kehatian-hatian dan usaha pembatasan periwayatan hadis tersebut dilakukan para sahabat karena mereka khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, hadis pun harus terjaga dari kekeliruannya, sebagaimana al-Qur’an.[7]
Baik pada masa khalifah Abu Bakr, ‘Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, maupun Ali bin Abi Thalib sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Dalam meneliti kebenaran suatu riwayat, Abu Bakr dan Umar mengharuskan adanya saksi yang juga telah mendengar tentang riwayat tersebut. Selain itu, seseorang yang menerima hadis tidak harus menyampaikan hadis itu, kecuali jika diperlukan. Artinya, jika masyarakat menghadapi suatu masalah yang ketentuannya tidak terdapat dalam al-Qur’an dan membutuhkan penjelasan dari hadis, maka pada saat itu periwayatan hadis dapat dilakukan.[8]
Meskipun kebijaksanaan pada zaman Utsman dan Ali tidak jauh beda dengan khalifah pendahulunya, periwayatan hadits lebih banyak jika dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan wilayah Islam telah meluas, sehingga para sahabat terpencar ke berbagai wilayah yang mengakibatkan kesulitan dalam pengendalian kegiatan periwayatan hadits. Akan tetapi, situasi umat Islam pada masa Ali telah berbeda yaitu ditandai dengan adanya pertentangan politik yang semakin meluas. Akibatnya timbul pemalsuan-pemalsuan hadis.[9]
3. Masa Tabi’in (41 H.-100H.)
Sebagaimana pada masa sahabat, pada masaTabi’in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadis. Meskipun keadaan mereka tidak seberat seperti keadaan yang dialami para sahabat, yang mana pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampurnya dengan hadis-hadis Nabi.
Selain itu, pada periode akhir al-Khulafa’ al-Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan menghafal banyak hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini menimbulkan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadis dari mereka, sehingga penyebaran hadis meningkat pesat. Masa tersebut dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (instisyar al-riwayah).
Beberapa kota yang tercatat sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis adalah Madinah, Makkah, Kufah, dan Basrah. Akhirnya, perkembangan periwayatan hadis tersebut berujung pada penulisan dan pembukuan hadis sebagaimana perintah pada masa Khalifah ‘Umar bin Abd Aziz.[10]
[1]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 71-72.
[2]Ibid., hlm. 72-73.
[3]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 54-55.
[4]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 29.
[5]Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1972), hlm. 23-24.
[6]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 79.
[7]Ibid., hlm. 81.
[8] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 63.
[9]Ibid., hlm. 66-67.
[10]Ibid., hlm. 67-68.