ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN
Perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya sutu perkawinan, yang di telah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dengan adanya undang-undang ini, terutama di kalangan kaum wanita, tidaklah mudah seorang laki-laki yang sebagai suaminya tanpa alasan-alasan yang sah menurut undang-undang dapat menceraikan istrinya begitu saja.
Alasan-alasan untuk melakukan peceraian itu, secara tegas telah diatur di dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ayat (1): Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat (2): untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. [1]
Alasan lain dijelaskan pula dalam KUHpdt buku ke satu tentang orang pasal 209. Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah sebagai berikut:
1e. zinah
2e. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
3e. Penghukuman dengan hukuan penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan
4e. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri terhadap istri atau suami nya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan [2]
Alasan tersebut juga diatur dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, pasal 19, menyebutkan, bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. [3]
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mandapat cacat badan atau penyakit dengan akibat atau tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
[1] Soedharyo Soimin., Op. cit, hal. 64
[2] R. Subekti, R. Tjitrosudibio., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2008, cet. XXXIX, h. 52
[3] Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola. H. 103