Anak Lahir dari Perkawinan Hamil karena Zina
Masalah anak yang lahir dari perkawinan hamil (anak hasil zina) ini, sudah diatur dalam Pasal 47 RUU Hukum Perkawinan Islam CLD-KHI menentukan:
(1) status anak yang lahir dari perkawinan hamil dinisbatkan kepada ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamilinya.
(2) Apabila ada keragu-raguan mengenai status anak, maka status anak ditentukan oleh Pengadilan Agama.
Dalam rumusan pasal tersebut terlihat bahwa hubungan nasab antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tidak terhalang oleh apa pun, bahkan tidak memerlukan pengakuan anak atau pengesahan anak sebagaimana dikenal dalam Hukum Perdata Barat yang telah dirumuskan dalam Pasal 49 dan 50 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang mana dalam kedua pasal tersebut ditentukan bahwa pengakuan anak hasil zina tidak diberlakukan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan atau pengesahan anak hasil zina.
Jadi, apakah laki-laki tersebut tidak menjadi suami dari ibu anak hasil zina bersangkutan ataupun tidak, seperti yang diatur dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam versi Pemerintah, namun menurut Pasal 47 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) RUU Hukum Perkawinan Islam versi CLD-KHI, laki-laki tersebut tetap mempunyai hubungan darah yang sah, dan tetap bertanggung jawab terhadap anak hasil zinanya, serta dapat saling mewaris di antara mereka.
Padahal menurut Hukum Islam, meskipun ayah biologisnya menjadi suami ibunya, namun antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tersebut tetap tidak mempunyai hubungan hukutem (nasab). Di antara mereka tidak dapat saling mewaris, tetapi hanya dapat saling memberi wasiat atau hibah. [1]
[1] Neng djubaidah, Op.cit, h. 78-79