BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia Jurusan Siyasah Jinayah (SJ) Semester kedua. Makalah ini membahas mengenai, bagaimana hukum perkawinan wanita hamil karena zina, bagaimana pandangan-pandangan para ulama tentang perkawinan wanita hamil, apa sajakah dampak yang ditimbulkan.
Perkawinan itu mempunyai tujuan yang suci dan tinggi oleh karena itu demikian yang akan nikah harus mempunyai kesanggupan dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi saja. Sehingga dengan adanya kesanggupan akan lebih cemerlang untuk kehidupan di masa yang akan mendatang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum perkawinan wanita hamil karena zina?
2. Bagaimana pandangan-pandangan para ulama tentang perkawinan wanita hamil?
3. Bagaimana kedudukan nashab (keturunan) bayi yang dilahirkan?
BAB II PEMBAHASN
A. Hukum Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina
Pasal 45 ayat (1) dan (3) menentukan perempuan hamil di luar perkewinan dapat menikah dengan laki-laki yang menghamilinya apabilaperempuan tersebut menghendakinya. Ketentuan lengkap dari pasal 45 RUU Hukum Perkawinan Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) sebagai berikut,
(1) Perempuan hamil di luar nikah dapat melangsungkan perkawinan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(2) Laki-laki yang menghamili perempuan di luar perkawinan wajib bertanggung jawab terhadap anaknya.
(3) Laki-laki yang dimaksud ayat (2) wajib mengawini apabila perempuan tersebut menghendaki adanya perkawinan selama tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan.[1]
Di dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang dilengkapi dengan Kompilasi Hukum di Indonesia, pada Bab VIII Kawin Hamil pasal 53 menyatakan bahwa,
(1) seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)perkawinan dengan wAanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan ilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. [2]
Pasal 13 ayat (2) RUU Perkawinan Tahun 1973 yang mengatur tentang "pertunanan". Dalam pasal tersebut dirumuskan bahwa: "apabila pertunagan itu mengakibatkan "kehamilan", maka pihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu, jika disetujui oleh pihak wanita".
Pendapat tersebut jelas sesuai dengan teori receptie yang menyandarkan keberlakuan Hukum Islam kepada Hukum Adat, seperti dikemukakan Soepomo dalam buku HukumPerdata Adat Jawa Barat dengan istilah "ngangkat bapak". Maksud dari "ngangkat bapak" adalah menikahkan perempuan hamil karena zina, yang bertujuan semata-mata agar anak yang dikandung diluar nikah itu lahir dalam ikatan perkawinan.
DAPATKAN FILE LENGKAPNYA DISINI
[1] Neng djubaidah, pencatatan perkawinan dan perkawinan tidak dicatat menurut hukum tertulis di indonesia dan hukum islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 80
[2] Undang-Undang Perkawinan diIndonesia, dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 195