PERTANGGUNGJAWABAN DAN SANKSI PIDANA TIPIKOR
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, menurut Muladi (1985) sebagaiman di kutip Teguh Prasetyo (2010), yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggung jawaban dalam hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dicelanya si pembuat atauu perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan seorang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti dia dapat dicela atas perbuatannya.
Kesalahan dalam arti bentuk-bentuk kesalahan dapa juga dikatakan kesalahan dalam arti yuridis, yang berupa: (1) kesengajaan (2) kealpaan. Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti luas ) sebagai dapat dcielanya si pembuat atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psikologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif.
Pengertian kesalahan yang psikologis, kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan dan kealpaan. Pada kesengajaan hubungan batin ini berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya), sedangkan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.
Pengertian kesalahan yang psikologis, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan atas sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi juga harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian (dari luar) mengenai antara si pembuat dan pembuatannya. “penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran ang terdapat dalam masyarakat, yaitu apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat.
Relatif sependapat dengan Muladi, Profresor Dr.Roeslan Saleh (1983) menggarisbawahi terdakwa haruslah :
- Berakibat perbuatan pidana
- Mampu bertanggung jawab
- Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan
- Tidak adanya alasan pemaaf
2. Pertanggungjawaban Pidana Tipikor
Pertanggungjawaban ppidana tipikor mengenal semacam alasan pembenar, yang tercantm dalam pasal 17 ayat (2) UU No.3 th.1971, bahwa “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan dem kepentingan umum”. Pertanggungjawaban pidana dalam tipikor lebih luas daripada hukum pidana umum, antara lain:
- Kemungkinan pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam tipikor, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan pidana dijatuhkan tanpa kehadiran teerdakwa. (pasal 23 ayat(1) s.d (4) UU No.3 Th.107
- Kemngkinan jaksa Pengacara Negara menggugat secra perdata ahli waris tersangka/terdakwa tipikor yang meninggal dunia saat dilakukan penyidikan/pemeruksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara (pasal 33 dan 34 UU No.31 th.1999)
- Kemungkianan hakim tuntutan jaksa penuntut umum menetapkan perampasan barang2 yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia, yang diduga telah melakukan tipikor, sebelum putusan tetap dijatuhkan. Tidak ada kesempatan untuk melakukan banding dalam putusan ini.
3. Sanksi Pidana Tipikor
Menurut UU No.31 Th.1999 jo. UU Th.20 th.2001, bentuk sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku Tipikor adalah pidana penjara dan pidana denda tergantung bobot dan kualifikasi Tipikor yang dilakukan. Ancaman pidana penjara bervarasi yang dikenakan kepada pelaku tipikor mulai dari pidana penjara paling singkat 4 tahun penjara, paling lama 20 tahun penjara, smapai pidana penjara maksimal seumur hidup. Ancaman pidana denda juga bervariasi, mualai dari pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000 sampai ke pidanadenda maksimal Rp.1.000.000.000 (Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 jo.UU No.20. Tahun 2001)
Tujuan pengenaan sanksi pidana kepada pelaku Tipikor adalah:
- Mengembalikan uang negara yang timbul dari kerugian negara akibat dari Tipikor tersebut.
- Memberikan efek jera kepada pelaku Tipikor
- Menjadikan langakah pemberantas Tipikor, sehingga mampu menangkal terjadinya tipikor.