Jenis-jenis pelanggaran dalam perkawinan
Jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut, akan dikemukakan sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal sebagai berikut.
- Jenis Pelanggaran Calon Mempelai
Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975
- Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
- Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan
- Pengecualian dalam jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Penekanan pasal tersebut adalah tenggang waktu pemberitahuan kehendak untuk melakukan pernikahan yaitu sekurang kurangnya 10 hari kerja dari dilangsungkannya perkawinan. Itupun sifatnya relatif longgar. Sebab, jika alasan penting dapat meminta dispensasi camat atas nama bupati. Apabila ketentuan ini dilanggar oleh calon mempelai maka akan dikenakan sanksi pidana yang merupakan bentuk pelanggaran yang pertama
Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975
- Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
- Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
- Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 orang saksi.
Ayat (1) dan (3) adalah bentuk pelanggaran yang ke 2 terhadap calon mempelai. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan oleh orang tersebut yang disebut “kawin lari” dan /atau “kawin di bawah tangan” atau bisa juga disebut “kawin liar” akan dikenakan sanksi pidana. Namun, masalahnya adalah sanksi pidana dimaksud termasuk delik aduan, yaitu orang yang merasa dirugikan dengan adanya perkawinan itu mengadu ke aparat yang berwenang, yang kemudian di proses melalui sidang di pengadilan sehingga menghasilkan keputusan untuk menghukum tergugat. Oleh karena itu, dijatuhkan kepada orang yang melakukan perkawinan dimaksud.
Pasal 40 PP Nomor 1975 “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”.
Pelanggaran hukum terhadap Pasal 40 masih sering terjadi. Sebab, pemahaman fiqih dari masyarakat indonesia adalah seorang laki-laki boleh menikah sampai 4 orang istri. Apabila seorang laki-laki beristri lebih dari seorang yang kemudian istri atau istri-istrinya tidak merasa dirugikan maka selama itu, sang suami tidak akan dijatuhi sanksi hukum. Akan tetapi, bila istri atau istri-istrinya merasa dirugikan yang kemudian mengadukan persoalannya kepada yang berwenang, maka memungkinkan tergugat akan dijatuhi sanksi hukum.[1]
BACA:
[1] Zainuddin Ali ,Opcit. hal., 94-95.