Jenis Pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
Pegawai Pencatat Nikah bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum perkawinan akan dijatuhkan sanksi dalam bentuk kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sanksi hukum dalam hukum perkawinan, baik berupa kurungan atau denda ditentukan oleh pilihan hakim. Pelanggaran hukum perkawinan dimaksud, akan di kemukakan dalam pasal-pasal sebagai berikut.[1]
Pasal 6 PP Tahun 1975
1) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah di penuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
2) Selain penelitian terhadap hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meneliti pula :
a. Kutipan Akta Kelahiran atau Surat Kenal Lahir calon mempelai dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Perkawinan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.
d. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri
e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 (2) UU.
f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
h. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang di sahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.[2]
Pasal 7 PP Nomor 9 Tahun 1975
1) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud Pasal 6 oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang peruntukkan untuk itu
2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terhadap halangan perkawinan sebagaimana dimaksud undang-undang dan/atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) PP ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kedua orang tua atau kepada wakilnya
Pasal 8 PP Nomor 9 Tahun 1975
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum”.
Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975
1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 PP ini (lihat pasal ini pada uraian sebelumnya) kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili.
3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Pasal 13 PP Nomor 9 Tahun 1975
1) Akta perkawinan dibuat rangkap 2 helai, pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada.
2) Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975
“Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 43”.
Pasal 47 PP Tahun 2004
Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah di atas, tampak bahwa pegawai pencatat lebih banyak di tuntut kejujuran dan ketelitian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia akan dihukum bilamana :
a. Pegawai pencatat tidak menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan pengumuman pelaksaan perkawinan.
b. Tidak melakukan penelitian lebih dahulu tentang syarat yang harus dipenuhi calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan
c. Pegawai pencatat tidak memberitahukan adanya halangan kawin terhadap mempelai.
d. Pegawai pencatat perkawinan tidak menandatangani pengumuman pelaksanaan perkawinan serta tidak menyimpan arsip dan tidak memberitahukan turunan akta nikah kepada mempelai.
e. Pegawai pencatat perkawinan menyelenggarakan perkawinan seorang suami yang lebih dari seorang istri tanpa izin dari pengadilan.[3]
[1] Djoko Prakoso, I Ketut Murdika. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta : Bina Aksara, 1987). hal. 48
[2] Wirjono Prodjodikosoro. Hukum Perkawinan di Indonesia. (Bandung : Sumur Bandung, 1981). Hal. 75-76
[3] Ibid., hal. 96-98.