Kategori Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan
Kategori tindak pidana dalam hukum perkawinan di sebut jarimah ta’zir dalam hukum fiqih. Ta’zir adalah pelanggaran yang tidak ditentukan hukumnya secara rinci di dalam Al’Qur’an dan hadits, melainkan hakim yang memutuskan berdasarkan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukumnya bisa berbeda pada setiap tempat berdasarkan situasi dan kondisi kemaslahatan dalam masyarakat. Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa hukuman ta’zir dalam bentuk hukum Islam berfungsi untuk mendidik pelaku agar tidak melakukan pelanggaran lagi.
Sedangkan dalam KUHP sanksi pidana dalam perkawinan diatur dalam Bab XIII KEJAHATAN TERHADAP ASAL-USUL DAN PERKAWINAN.
Pasal 279
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:
1e. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinanya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.
2e. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1e menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam pidana paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.[1]
Pasal 280
“Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberi tahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam pidana paling lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah.[2]
Pasal 284
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan :
1) a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
2) a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
[1] Abdul Manan dan M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 7
[2] KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 94-95