MAKALAH SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN
A. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan jalan untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. Dalam islam perkawinan tidak hanya sekedar hubungan antara individu laki-laki dan individu perempuan yang akan menjadi suami-isteri tetapi melibatkan individu bahkan individu-individu lain yang dibingkai oleh rukun dan syarat perkawinan, apalagi bila dikaitkan dengan hukum-hukum perkawinan dan tujuannya menurut Islam. Dengan kata lain, perkawinan menurut Islam bernilai ibadah yang memandang perkawinan sebagai hubungan keperdataan.
Dalam perkawinan juga tidak hanya muncul persoalan perdata saja, terkadang dalam perkawinan juga akan menimbulkan masalah yang menyangkut kepidanaan, seperti kalau misalnya seorang suami yang sudah beristri hendak menikah lagi, maka ia harus meminta ijin tertulis dari pengadilan setempat dan ijin dari istrinya, hal ini perlu diatur sebagaimana dalam Pasal 28D Pasal ayat (1) UUD 1945 (hasil amandemen) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum ‘yang adil’ serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.Untuk mengatur persoalan-persoalan pidana yang timbul dalam perkawinan, maka perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur secara tersendiri permasalahan ini, dan untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik suatu permasalahan, apa saja jenis-jenis pelanggaran dalam perkawinan dan bagaimana sanksinya dalam hukum perkawinan?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan hukumnya
Sanksi pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertentu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.Pasal 451) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
- Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
- Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10, ayat (1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.[1] Dalam penjelasan Pasal 45 di atas dikemukakan bahwa dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukum dan denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3), dan 40, dan sanksi hukum kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Ketentuan Pasal 45 dan penjelasan dari peraturan pemerintah tersebut, membedakan jenis pelanggaran dan sanksi hukuman antara mempelai dengan pejabat pencatat perkawinan. Perbedaan itu adalah hukuman bagi mempelai yang melakukan pelanggaran hukuman atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah), sedangkan bagi pejabat pencatat nikah yang melakukan pelanggaran adalah hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500, 00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).[2]
Artikel tantang Makalah sanksi pidana dalam hukum perkawinan :
- Unsur-unsur tindak pidana dalam perkawinan
- Jenis-jenis pelanggaran dalam perkawinan
- Jenis Pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
- Peranan Pegawai Pencatat Perkawinan
- Kategori Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan
[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 93-94.[2] Ibid., hal. 97