MAKALAH TAKHALLI DAN TAHALLI
I. PENDAHULUAN
Pada prinsipnya, tasawuf adalah ilmu tentang moral islam, setidaknya sampai abad keempat hijriah. Pada periode ini aspek moral tasawuf berkaitan erat dengan pembahasan tentang jiwa, klasifikasinya, kelemah-kelemahannya, penyakit-penyakit jiwa dan sekaligus mencari jalan keluarnya atau pengobatannya. Dengan kata lain pada mulanya tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna. Nampaknya pada periode ini para sufi telah melihat, bahwa manusia adalah makluk jasmani dan rohani yang karenanya wujud kepribadiannya bukamlah kualitas- kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru lebih bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spiritual yang hidup dan dinamik. Manusia sempurna adalah setelah ruh ditiupkan Tuhan ke dalam jasad tubuh, yang tanpa ruh itu ia belum bernama manusia sempurna. Oleh karena itu adalah cita-cita sufi untuk menjadikan insan kamil sebagai prototipe kehidupan moralnya melalui peletakan asma al-husna sebagai cita moral sufi.[1]
Dalam pandangan sufi, ternyata manusia dependensia kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Untuk merehabilitir sikap mental yang tidak baik menurut orang sufi tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang kandidat diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Untuk itu pada makalah ini akan dibahas tentang sistem pembinaan akhlaq yang meliputi takhalli dan tahalli.
II. RUMUSAN MASALAH
- Apa pengertian Takhalli?
- Apa pengertian Tahalli?
III. PEMBAHASAN
A. PengertianTakhalliTakhalli yakni membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dari maksiat lahir dan maksiat batin. Diantara sifat-sifat yang mengotori jiwa manusia ialah hasad(benci), Hiqd(rasa mendongkol), su’udzon (buruk sangka), takabbur (sombong), ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah). Takhalli juga berarti menghindarkan diri dari ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.Kelompok sufi yang ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi benar-benar sebagai racun pembunuh kelangsungan cita-cita sufi. Dunia adalah penghalang perjalanan. Oleh karena itu nafsu duniawi harus dimatikan dari diri manusia agar ia bebas berjalan menuju tujuan, mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki. Bagi mereka memperoleh keridhaan Tuhan lebih utama daripada kenikmatan-kenikmatan materiil. Pengingkaran pada ego dengan meresapkan diri pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama. Dengan demikian, nilai moral betul-betul agamis karena setiap tindakan disejajarkan dengan ibadah yang lahir dari motivasi eskatologis.[2]
Sikap mental yang tidak sehat sebagai hasil yang timbul dari rasa keterkaitan kepada kehidupan duniawi, menurut visi pandangan sufi cukup banyak. Antara lain yang dipandang sangat berbahaya adalah sikap mental riya. Riya ini dapat diartikan sebagai kecenderungan jiwa pamer agar mendapat puji sanjung dari orang lain dan pada akhirnya ingin dikultuskan. Sifat ingin disanjung dan ingin diagungkan, menurut al-Ghazali, merasa sulit untuk menerima kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima keagungan Allah. Sebab hasrat ingin disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari adanya perasaan paling unggul, rasa superioritas dan ingin menang sendiri karena merasa unggul dari yang lain. Rentetannya adalah rasa sombong, egois, dengki, fitnah dan iri atas keberhasilan orang lain. Kesombongan dianggap sebagai dosa besar terhadap Tuhan. Oleh karena itu Al-Ghozali mengatakan bahwa kesombongan itu sama dengan penyembahan diri satu macam polytheisme. Apabila demikian sikap-sikap yang dominan dalam diri manusia akan timbul lagi secara berantai beraneka macam sikap mental yang seirama dengan induknya itu. Oleh karena itulah, dalam rangkaian sistem pendidikan rohani, orang sufi mengarahkan peluru pertamanya kearah penguasaan hawa nafsu duniawi dan seluruh hal-hal negatif yang berkelanjutan, sesuai dengan tariqat sufi.[3]
Artikel Tentang Makalah Takhalli dan Tahalli :
[1] Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo klasik, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1999), hlm 96
[2] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah,(Yogyakarta:LkiS,2008) hlm53-54[3] Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo klasik, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1999), hlm 103-104