Pendidikan kemasyarakatan adalah usaha sadar yang juga memberikan kemungkinan perkembangan sosial, kultural keagamaan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keterampilan, keahlian (profesi), yang dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat. Pendidikan masyarakat tidak hanya berfungsi menanamkan sikap untuk membangun tetapi juga pelengkap dan pengganti pendidikan formal, baik untuk anak didik yang tidak sempat melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi maupun untuk anak didik yang tidak pernah memasuki pendidikan formal.[1]
Dalam rangka menggerakkan potensi masyarakat, perlu dikembangkan hubungan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dalam melaksanakan pendidikan nasional, kalau perlu dapat diupayakan agar sekolah dijadikan pusat pengembangan masyarakat.
Pendidikan kemasyarakatan mempunyai andil yang besar dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, dalam peranannya antara lain:
- Pendidikan manusia sebagai makhluk individu, pendidikan kemasyarakatan berperan dalam membantu pembentukan manusia yang cerdas.
- Pendidikan manusia sebagai makhluk susila (kemasyarakatan) yang memberi pembekalan keterampilan kerja dibekali pula dengan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, dan Pancasila sebagai dasar negara.
- Pendidikan manusia sebagai makhluk sosial, pendidikan swasta (kemasyarakatan), baik secara langsung maupun tidak langsung memang ditumbuh-kembangkan sebagai makhluk individu dan susila, yang secra bersama-sama mampu menciptakan kehidupan bersama secara bertanggung jawab, untuk mencapai kesejahteraan sosial yang dinami
- Pendidikan manusia sebagai makhluk religius, maka pendidikan kemasyarakatan, baik yang dilakukan di keluarga, kursu-kursus atau lembaga swasta lainnya, khusunya lembaga swasta yang bernafaskan keagamaan, seperti pesantren banya memberikan andil dalam pembekalan yang berhubungan dengan masalah keagamaan.
Dalam menjalani pendidikan di masyarakat biasanya anak mengalami kesulitan-kesulitan, antara lain:
- Lingkungan fisik dan non-fisik yang kurang/tidak menguntungkan. Lingkungan yang demikian akan menghambat anak dalam belajar.
- Tugas yang diberikan lembaga terlalu berat/banyak, sehingga anak tidak dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Banyaknya kegiatan yang diikuti dalam waktu yang terbatas, bisa menjadi penyebab kegiatan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik dan akan mengalami kesulitan, yang akhirnya hasilnya akan kurang
- Apabila nilai yang dikembangkan oleh anak berbeda dengan nilai adat yang ada di masyarakat maka akan timbul nilai konflik, yang menyebakan anak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut dan akan berpengaruh terhadap upaya belajar anak.[2]
[1] Fuad Ihsan, Op.Cit, hal.30-34
[2] Fuad Ihsan, Op.Cit, hal.36-37