Tanggungjawab Al-Ghazali atas Kemunduran Umat Islam di Bidang Ilmu dan Peradaban
Sebagian kaum orientalis, yang diikuti orang-orang Arab modern berpendapat bahwa al-Ghazali bertanggungjawab atas kehancuran filsafat dan pemikiran bebas, mengangkat akademi tradisional mengalahkan akademi rasional. Bahkan ia bertanggungjawab atas hancurnya istana keilmuwan dan peradaban islam secara menyeluruh.
Dalam buku yang berjudul al-Arab wa Tahaddiyatut Tiknulujia (Arab dan Tantangan Teknologi) karangan Anthonius Karan menyebutkan bahwa ia dan orang moderen melemparkan tanggungjawab kemunduran ummat dan peradabannya kepada al-Ghazali dan aliran yang mendukungnya.
Kenyataan ini sulit dibantah bagi para peneliti peradaban islam dan aliran-alirannya.
Akan tetapi ada beberapa aspek yang dapat membantah tuduhan-tuduhan mereka terhadap al-Ghazali, diantaranya:
- Suatu filsafat yang dapat dikuasai bangunannya sampai dasar-dasarnya oleh seseorang hanya dengan sebuah atau beberapa buku merupakan satu filsafat yang layak terhapus dari dunia pemikiran. Karena filsafat yang demikian itu tidak layak disebut filsafat. Sesungguhnya hakikat itu lebih dalam akarnya di jagad ini dibandingkan dengan suatu filsafat yang demikian mudah tercabut. Sesuatu yang mudah dicabut dan mudah goyah adalah kebatilan yang dikemas seakan-akan suatu kebenaran atau ilusi yang diberi baju keyakinan, padahal ia terlepas sama sekali dari keyakinan. Allah swt. Berfirman: “Buih itu akan hilang tak berarti sedangkan apa-apa yang bermanfaat bagi manusia akan tetap berada di bumi.
- Filsafat tidak mati seluruhnya karena serangan al-Ghazali, akan tetapi hanya berkurang gema dan pengaruhnya serta kehilangan kehebatan. Menurut Abul Walid Ibnu Rusyd filosof yang muncul setelah al-Ghazali, justru menganggapnya sebagai pendorong utama atas karya-karya Ibnu Rusyd lewat bantahan atau syarah
- Al-Ghazali tidak menyerang filsafat dari segi pemikiran bebasnya untuk mencari kebenaran yang ada secara bebas dan tidak bertaklid, yang bersifat orisinal dan bukan plagiat. Ia menyerang filsafat yang mengaitkan dirinya pada islam dan ditulis dengan bahasa Arab. Ia sekadar kendaraan yang diisi dengan filsafat Aristoteles yang dicampur dengan filsafat Neo-Platonisme guna menundukkan ajaran islam dalam lingkaran filsafat. Padahal filsafat tersebut saling bertentangan dan tidak berdasarkan pada Ilmu Yaqin.
- Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat. Ia tidak menyerang matematika, fisika, etika dan politik dari filsafat. Ia menyerang filsafat metafisika atau yang diungkapkan Dr.Muhammad al-Bahy sebagai, “Dimensi Ilahiyah” dari pemikiran filsafat. Yaitu suatu dimensi yang tidak dapat ditembus akal untuk mengatakan secara pasti, karena berada di atas kemampuan akal dan di atas kemampuan spesialisasinya. Al-Ghazali telah ditiru oleh tokoh filosuf moderen seperti Immanuel Kant yang menyamakan ungkapan filsafat metafisika sebagai mata uang tanpa nilai sebagaimana telah dinukil Dr. al-Bahy dalam buku al-Fikrul Islamy al-Hadis wa Shilatuhu bil Isti’maar al-Gharby.
- Kritik dan serangan al-Ghazali terhadap filsafat, semata demi mempertahankan agama dan akidahnya, bukan berarti ia memusuhi akal atau anti terhadap pemikiran bebas. Kalau ada yang berasumsi sebaliknya, berarti menunjukkan kesalahpahaman terhadap islam dan islam dan sikap al-Ghazali. Islam melarang mengikuti prasangka dan hawa nafsu. Islam berkata kepada orang-orang non-muslim: “Katakan, Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan yang kemudian kamu dapat mengemukakannya kepada kami? Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan kamu tidak lain kecuali hanya berdusta.” (Q.s.Al-An’am: 148). Mereka salah paham terhadap sikap al-Ghazali, karena sebenarnya ia tidak menolak akal dan pemikiran.
- Walaupun al-Ghazali menyeru pada tasawuf, zuhud dan tawakal, tetapi ia tidak menyeru untuk mengabaikan dunia, seperti bertani, industri, kedokteran dan sebagainya. Bahkan menganggap hal tersebut sebagai fardhu kifayah atas seluruh ummat islam
- Masalah redupnya cahaya peradaban islam, mundurnya ummat islam dari kepemimpinan menjadi pengekor, menyebabkan kejumudan dan taklid yang menggeser inovasi dan ijtihad, masalh besra dan rumit seperti ini tidak diakibatkan oleh satu sebab, atau satu masa saja, apalagi hanya disebabkan oleh satu orang. Kemunduran dan kejumudan ummat ini memiliki banyak sebab antara lain: aspek politis, sosial, moral, dan kultural.
Ummat islam yang telah mengubah dirinya sendiri, pemikiran, keyakinan dan nilai-nilainya serta keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, maka Allah swt. Mengubah kondisi yang ada pada ummat islam, berupa nikmat, kemajuan, kemenangan dan kekuatan. Inilah Sunnatullah yang berlaku kepada makhluk-Nya. Sesungguhnya filsafat saja tidak dapat menghidupkan masyarakat dan tidak pula membangkitkan suatu ummat.
Ummat islam tidak akan maju karena menjadi penganut Aristoteles atau al-Faraby bahkan ibnu sina. Ummat Islam akan maju dan menang jika menjadi pengikut Muhammad dan pengikut al-Qur’an, meyakini lewat islam, bahkan mencari ilmu adalah fardhu, meningkatkan kualitas kerja adalah ibadah, memakmurkan bumi adalah jihad, bersatu untuk kebaikan adalah taqarrub kepada Allah swt, tolong menolong pada kebaikan dan ketakwaan merupakan kewajiban, meningkatkan mutu kekuatan merupakan bagian dari agama, hikamh merupakan barang hilangnya ummat islam yang harus diambil segera dimanapun ia menemuinya. Dengan ini semua ummat islam akan mencapai puncak dan kemenangan.[1]
[1] Ibid , hlm., 174-185.