Peradaban Islam Dalam Bidang Sosial Keagamaan
Pada babak pertama pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang Dunia II.[1] Dai Nippon mengambil beberapa kebijakan dalam mendekati umat Islam di Indonesia antara lain :[2]
- Mendirikan sebuah kantor urusan agama yang diberi nama oleh Jepang Shumubu.
- Mengangkat Dr. Hamka yaitu orang bumi putera yang tanpa takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran Shinto yang mengharuskan menyembah Kaisar dan Matahari terbit dengan Islam yang monotheisme.
- Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
- Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran-ajaran agama terutama agama islam.
- Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk Barisan Pembela Tanah Air.
- Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut : Majelis Islam A’la Indonesia yang bersifat kemasyarakatan..
Kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bangkit memberontak melawan Jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman Jepang umat Islam mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan Islam, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri, bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.
Maksud dari pemerintah Jepang melakukan kebijakan-kebijakan tersebut adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Di lihat dari segi militer dan sosial politik Indonesia, Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan dengan paksa untuk kepentingan perang Asia Timur Raya dan rakyatpun dikerahkan untuk kerja paksa (romusha). Semenjak itulah dunia pendidikan terbengkalai, karena murid-murid hanya disuruh baris-berbaris, bekerja bakti, menyanyi dan sebagainya. Namun yang masih beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren karena bebas dari pengawasan langsung Jepang. Sehingga pendidikan masih berjalan lancar.
Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Jepang menbiarkan dibukannya kembali madrasah-kmadrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena kenyataan bahwa pengawasan pemerintahan Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang sebagian besar berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.
Catatan Kaki:
[1] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm 151
[2] Abdullah Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm 102.