Dalam Makalah ini, Ide-ide Rasyid Ridha dalam hal politik sudah dikenal oleh banyak pemikir-pemikir modern abad sekarang, salah satunya adalah konsepsi tentang khilafah,
Ide-ide Rasyid Ridha dalam hal politik sudah dikenal oleh banyak pemikir-pemikir modern abad sekarang, salah satunya adalah konsepsi tentang khilafah, hal ini terlihat dengan salah satu karangan buku beliau yaitu yang berjudul Khilafah, Ridha melihat bahwa umat Islam harus disatukan dalam satu garis tujuan, dalam masalah dunia maupun akhirat, kondisi ini timbul dikarenakan pada masa kehidupan Ridha, melihat akan kekejaman kolonialisme dan imperialisme Barat yang memecah belah umat Islam. Ridha juga merasakan kesedihan dengan tumbangnya sistem khilafah di wilayah Turki oleh Kemal.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat pemikiran Ridha dari bentuk pemikiran yang berdimensial luas, melihat pandangan politik Ridha dari dimensi negara. Penulis berusaha menemukan ada atau tidaknya unsur politik mengingat Ridha yang hidup pada zaman kolonialisme dan imperialisme. Maka dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Ridha, nasionalisme dalam pandangan Ridha, sistem ketatanegaraan menurut pandangan Ridha, Islam dan kemodernan Barat.
BIOGRAFI RIDHA MUHAMMAD RASYID RIDHA
Ridha Muhammad Rasyid Ridha selanjutnya dikenal dengan Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, sebuah kampung sekitar 4km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil Awal 1282 H. Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Ridhaina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah, itulah kenapa dia diberi gelar “Ridha”.[1] Riwayat pendidikannya ia mulai sejak kecil yaitu belajar di kampung halamannya yang masih di kenal dengan al-kuttab, setelah dia pindah kemadrasah Ibtida’iyyah yang mengajarkan nahwu, sharaf, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi. Ketidaknyamanannya menyebabkan ia pindah dari Tripoli tempat sekolah tersebut ke sekolah Islam negeri, dikarenakan adanya pengaruh pemerintahan Ustmaaniyyah. Sampai disekolah negeri dia bertemu dengan syaikh Husain al-Jisr yang kelak berpengaruh terhadap karir akademik Ridha. Pada kesempatan itulah Ridha diberi kesempatan oleh sang guru dengan diperkenalkan dengan tokoh yang berpengaruh pada saat itu yaitu Jamaluddin al-Afghani (1839-1889 M) selanjutnya disebut Afghani dan Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M) selanjutnya disebut ‘Abduh yang kemudian berlanjut dia diserahi amanat untuk memimpin majalah al-Manar yang menjadi media dia bertemu dengan ‘Abduh. Ridha juga dikenal sebagai orang yang ahli ibadah sampai-sampai ada yang menganggapnya wali karena ketekunan dan kepribadian yang dimiliki.
Kisah pertemuan antara ‘Abduh dan Ridha, bermula dari sangat kagumnya Ridha ketika membaca surat kabar al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Afghani dan ‘Abduh, pada saat berkunjung ke Tripoli dan pada saat inilah pertemuan pertama kali terjadi. Ridha menanyakan tentang kitab tafsir apa yang terbaik kepada ‘Abduh, ‘Abduh merespon dengan menyatakan tafsir al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Pertemuan kedua terjadi setelah 5 tahun berlalu ketika Ridha menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial,budaya dan agama. Awalnya ‘Abduh tidak menyetujuinya, namun karena sudah bulat keinginan Ridha dan juga ‘Abduh mempertimbangkan hal-hal yang lain maka kemudian direstuilah surat kabar yang bernama al-Manar (nama usulan Ridha) yang kemudian menjadi nama bagi tafsir yang di gagas oleh Ridha yang merupakan hasil kajian tiga serangkai yaitu Afghani, ‘Abduh dan Ridha sendiri.
Beberapa karangan Ridha yaitu : Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhkamat al-Zahiriyah wa al-Rifa’iyyah, Al-Azhar dan Al-Manar, Tarikh al-Ustadz Al-Imam, Nida li Al-Jins al-Latif, Zikra al-Maulid al-Nabawi, Risalah Hujjah al-Islam al-Ghazali, al-Sunnah wa Aisyi’ah, al-Wahdah al-Islamiyyah, Haqiqah Riba, Majalah al-Manar, Tafsir al-Manar, Tafsir surat al-Kautsar, al-Kafirun, al-Ikhlas, dan al-Mu’awwizatain, Al-Khilafah.
Beliau wafat setelah mengalami kecelakaan di terusan Suez sekembalinya dari mesir mengantarkan pangeran Sa’ud al-Faishal. Ridha mengalami gagar otak walaupun begitu beliau tidak henti-hentinya membaca Al-qur’an sampai Allah menjemputnya. Beliau wafat dengan wajah yang cerah disertai senyuman pada tanggal 23 Jumadil Awal 1354, bertepatan dengan 22 Agustus 1935.
NASIONALISME DALAM PANDANGAN RASYID RIDHA
Konsepsi nasionalisme dari Ridha sebagai respon ketidaksepakatannya dengan model Nasionalisme yang diterapkan Mustafa Kemal di Mesir dan gerakan nasionalisme di Turki yang di pelopori oleh Turki Muda. Ridha sangat tidak sepakat jikalau persaudaraan (ukhuwwah) dalam Islam itu membeda-bedakan bahasa, tanah air, dan bangsa. Ridha lebih sependapat dengan ide persaudaraan yang di teorikan oleh Ibnu Khaldun yaitu tentang solidaritas (ashabiyyah). Dalam teori Ibnu Khaldun menekankan tiga aspek yaitu ashabiyyah fi al-din (solidaritas agama/idiologi), ashabiyyah fi qabilah (solidaritas kesukuan) dan ashabiyyah fi al-jinsiyah (solidaritas sebangsa). Ketiga hal tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak ada sekat yang memisahkan persaudaraannya. Oleh karena itu, Ridha memunculkan gagasan bahwa persaudaraan umat Islam harus digalakkan tanpa adanya perbedaan idiologi/madzhab, bahasa, tanah air dan perbedaan bangsa.[2]
Kenyataan di atas memang harus diterapkan kepada umat Islam. Kita tahu bahwa adanya imperialisme dan kolonialisme Barat menjadikan negara-negara semenanjung Arab dan Afrika utara terasa tangan diikat kemudian didorong jatuh ke tanah, jadilah mereka tidak bisa berdiri untuk membela negaranya, hanya bisa berjalan dengan melata. Dominasi politik dari Barat dan embargo yang dilakukan menambah pahit kondisi mereka. Untuk itulah Ridha kemudian menumbuhkan gagasan supaya kebersatuan itu harus digalakkan dari kalangan bawah, dia berkeyakinan dengan begitu upaya meruntuhkan dominasi Barat bisa sukses lantaran adanya sistem nasionalisme yang kuat dari kalangan bawah.
Baik mulai Afghani,’Abduh dan Ridha sendiri merupakan tokoh yang sebenarnya bukanlah pemikir politik. Pemunculan pemikiran politik mereka, sebagai reaksi terhadap persoalan-persoalan umat Islam yang mengalami kemunduran total di segala aspek kehidupan pada saat itu.[3] Inilah yang mencerminkan bahwa ketiga tokoh tersebut khususnya Ridha benar-benar mempunyai semangat kebangsaan yang kuat, berjuang tidak hanya lewat gerakan-gerakan bawah tanah melainkan juga pemikiran yang meluruskan pemahaman rakyat yang sikap nasionalisme sudah mulai luntur dan menipis. Sampailah mereka pada kondisi yang berbenturan dengan para kolonialisme dan penghianat-penghianat bangsa karena memperjuangkan sikap persatuan umat untuk menggapai kebahagiaan.
[1] M.Quraish Syihab,Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Tanggerang;Lentera Hati,2007),h.71. Dalam konteks yang lain dia dilahirkan di desa dekat Tharablisi Syam, tahun 1865, Ridha Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut:Dar Kutub al-Ilmiah,tt),h.6
[2] Harun Nasution, ibid.,h.65.
[3] J.Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran,Sejarah, dan Pemikiran, (cet ke-3;Jakarta : PT Raja Grafindo Persada),h.281.