Berbicara mengenai negara dan pemerintahan dalam perspektif Islam, menurut Afghani, Islam menghendaki bentuk negara Republik. Sebab di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang dasar. Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Pendapat Afghani tersebut jelas di pengaruhi oleh pemikiran Barat. Barat lebih dulu mengenal pemerintahan republik. Tapi tidak lepas pula pemahamannya terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan dari kenegaraan. Berbeda dengan ‘Abduh, jika Afghani sudah modern,’Abduh masih berpegangan dia tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khilafah masih tetap menjadi piilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan berfikir. Sedangkan Ridha, justru tampil dengan vocal untuk menghidupkan kembali khilafah yang memelihara kekuasaan absolute, yang dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk.[1]
Buku yang berjudul al-Khilafah karangan Ridha adalah buku yang cukup menggambarkan bagaimana posisi Ridha dalam perpolitikan. Pada pembahasannya Ridha memulai dengan penyantuman pengertian-pengertian khilafah, pengangkatan khalifah, pihak-pihak yang menetapkan khalifah kemudian menyentuh tentang penyadaran bahwa adanya kekuatan ummat yang harus diakomodir, persyaratan ahl al-ikhtiyar (ahli memilih), persyaratan bagi calon khalifah, shighat pembaiatan, kewajiban bagi rakyat ketika sudah berbaiat, kewajiban bagi imam kepada rakyat. Untuk mendukung pendapatnya itu Ridha menegaskan bahwa khilafah,imamat al’uzma,dan imarat al-mu’minin, yakni kepada pemerintahan untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunia.[2] Ridha memaparkan juga tentang adanya sistem permusyawaratan di dalam Islam, perwalian dengan jalur pengukuhan ikrar sumpah yang kesemuanya itu Ridha sependapat dengan konsep al-Mawardi.
Dari kenyataan tersebut jelas belum adanya suatu peran pemikiran dari Ridha. Pada pembahasan pertengahan mulai terlihat bagaimana pembaharuan yang dilakukan oleh Ridha yaitu konsepsi yang tepat untuk ahl al-hill wa al-aqd pada era sekarang. Ridha menegaskan bahwa kriteria ahl al-hill wa al-aqd itu meliputi para elit masyarakat (sarat alummah), para pemimpin masyarakat (zu’ama al-ummah), dan para pentolan-pentolan lain yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Mereka juga merupakan pihak-pihak yang tidak hanya cakap dalam hal keilmuan melainkan juga terampil dalam bekerja dan peka terhadap kemashlahatan yang di butuhkan masyarakat. Oleh karena itulah ahl al-hill wa al-aqd pastilah mencakup para ahli-ahli di bidang hukum, politik,sosial,peradilan,tata kota, dan keuangan. Selain itu tercakup juga para ahli dalam bidang keadilan, pemikiran dan hikmah.[3] Dengan persyaratan yang sudah memenuhi sebagaimana di atas, maka orang-orang tersebut sudah berhak untuk menetapkan imam secara sah.
Hal di atas kemudian memberikan arahan kepada Ridha bahwa persepsi untuk ahl al-hill wa wal-aqd itu senyatanya dari kalangan pihak-pihak yang kompeten. Untuk kalangan ahli agama dan para cendekiawan. Ridha membagi mereka menjadi tiga yaitu ulama atau ahli fiqih, cendekiawan-cendekiawan muslim pengagum dan pola fikir dan sistem Eropa, dan pengikut pembaharuan Islam moderat (kelompok ‘Abduh). Untuk kelompok yang ketiga inilah yang disepakati oleh Ridha sebagai pihak yang berhak menempati ahl al-hill wa al aqd.[4] Ridha kemudian memberikan arahan bahwa semua umat itu harus bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu kesatuan umat perlu mengambil bentuk negara. Negara yang di anjurkan oleh Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara ialah khalih, karena memiliki kekuasaan legislatif sehingga harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.
Khalifah adalah mujtahid besar dan di bawah khalifah serupa inilah kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat diwujudkan. Dalam kesatuan ini termasuk segala golongan umat Islam. Sebagai halnya dengan Afghani tidak jelas bentuk kesatuan politik yang dimaksudkan Ridha.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Usmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kemal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapus sistem pemerintahan khalifah. Selanjutnya meletakkan harapan pada kerajaan Saudi Arabia setelah Raja Abdul al-Aziz dapat merebut kekuasaan di Semenanjung Arabia.[5] Pandangan yang dikemukakan oleh Ridha dan argumentasinya tersebut menunjukan bahwa ia seorang pemikir konservatif. Ia masih terikat kepada pendapat-pendapat ulama abad pertengahan. Padahal ia telah berhadapan dengan zaman modern dan menyaksikan kebobrokan sistem khalifah yang dihapus oleh Mustafa Kemal Attaturk. Dengan demikian ia tidak memunculkan pemikiran politik yang orisinil. Sebab ia masih ingin mempertahankan eksistensi khilafah yang dalam prakteknya cenderung absolute dan otokrasi, pasca Khilafah Khulafa’ al-Rasyidin.[6]
[1] Ibid., h. 281-283
[2] Ibid.,h. 283-284
[3] Muhammad Rasyid Ridha, al-Khilafah, (Kairo:Madinah Nasr, 1992), h.66
[4] Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 134-135
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam. h. 66
[6]J.Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah; Ajaran,Sejarah, dan Pemikiran, (cet ke-3; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada),h.284