Dalam hukum Islam, antara wahyu dan akal itu ibarat penyeimbang. Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturanuntuk menempatkan akal sebagaimana mestinya.
A. Karakteristik-Karakterisik Hukum Islam ada diantara
a. Revelation and Reason (wahyu dan akal)
Dalam hukum Islam, antara wahyu dan akal itu ibarat penyeimbang. Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturanuntuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun, dan wahyu baik berupa Al-Qur’an dan Hadist bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
Secara umum sumber hukum Islam itu ada dua yaitu wahyu Allah dan akal, wahyu adalah sumber hukum primer yang sah sebagai sumber hukum karena dirinya sendiri, sedangkan akal adalah sumber hukum sekunder yang sah menjadi sumber hukum karena disahkan wahyu. Dengan kata lain dalam tradisi Islam,wahyu berada di atas akal, wahyu memimpin akal, sedangkan akal bertugas memahami dan mengabdi kepada kehendak wahyu. Di dalam Islam akal hanyalah alat menggali hukum dari wahyu, bukan sumber hukum mandiri. Tidak ada satupun pemikir hukum muslim (fuqaha) yang rela disebut telah menggunakan akal (ra’yu) sebagai dasar pemikiran hukumnya. Maka jika ada pertentangan antara kehendak wahyu dan akal maka wahyu yang harus di unggulkan. Inilah hakikat hukum Islam.
Menurut Noel J. Coulson dalam bukunya yang berjudul Conflicts and Tensions in the Islamic Jurisprudence, dalam hal ini ia menggambarkan bahwa Hukum Islam sebagai hukum Tuhan dan hukum ulama. Dimana antara keduanya terjadi konflik dan ketegangan. Analisis demikian tentu tidak bisa ditolak seluruhnya, karena jika dicermati antara term al-syari’ah al-Islamiyah dan al-fiqh al-Islamy memang mempunyai perbedaan, meskipun tidak harus dipertentangkan. Jika yang pertama sumber dan bangunannya wahyu, yang kedua adalah hasil ijtihad yuris (faqih, jamaknya fuqaha’). Inilah yang oleh Muslehuddin, dipahami sebagai penemuan atau kesalahpahaman Coulson terhadap Hukum Islam.[1]
Hukum Islam atau islamic jurisprudence adalah murni pemikiran ulama. Konflik dan ketegangan tidak akan muncul, jika ditelusuri alur dan aktualisasi al-syari’ah yang berdasar wahyu, menjadi sebuah hukum yang hidup dalam masyarakat, melaui landasan epistemologi yang dirintis para sahabat dan dikristalisasikan oleh para faqih, yang kemudian terbentuk madzab-madzab dalam fiqh Islam. Karena, betapapun juga penalaran yang dilakukan para yuris tetap berlandaskan kepada dasar-dasar al-Qur’an dan al-Sunnah.[2]
Footnote:
[1] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 25.
[2] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 26.