Stability and change (stabilitas dan perubahan) dan Otoritarianism and Democracy (otoritas dan demokrasi)
Stability and change (stabilitas dan perubahan) dan Otoritarianism and Democracy (otoritas dan demokrasi)
a. Stability and change(stabilitas dan perubahan)
Menurut Coulson, antara syari’ah dan fiqh merupakan sesuatu yang berbeda.[1] Syari’ah adalah sebuah hukum ketuhanan, baik mengenai sumber ataupun dasar-dasarnya. Dan syari’ah lebih bersifat stabil dan tetap. Maka dalam masalah ini jika terjadi perubahan hukum sangat erat hubungannya dengan keadaan suatu tempat dan peristiwa hukum yang terjadi, seperti masalah fiqh yang selalu mengalami perubahan dalam melaksanakan ketetapan hukum selalu relative dengan konteksnya.
Aturan syari’ah adalah aturan yang bersifat mengatur hubungan antara manusia dengan Allah. Maka dari itu harus stabil, karena dasar syariat adalah bersumber dari wahyu Allah.Sedangkan untuk mendalami sebuah hukum Islam diperlukan kajian ilmu tersendiri yaitu fiqh sebagai bentuk penjabaran dan penafsiran dari syariah yang disesuaikan dengan konteks dan waktu yang sifatnya relative, yang bersumber pada ijtihad dan penafsiran manusia.[2]
b. Otoritarianism and Democracy (otoritas dan demokrasi)
Mengutip pendapat Coulson ‘Yurisprudensi Islam adalah suatu usaha spekulatif untuk memahami secara seksama istilah-istilah hukum Allah. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah otoritas ajaran yang dihasilkan dalam prakteknya telah diperintahkan untuk diikuti ulama yang berugas menggali hukum maupun para hakim yang bertugas menerapkannya. Dalam menanfsirkan nah-nah wahyu Allah yang diterima atau dalam mengatur kasus-kasus baru, apakah seorang hakim atau faqih memperoleh kebebasan pribadi untuk menentukan keputusan atau apakah ia wajib mengikuti otoritas tertentu dan spekuatif disamping karena keterlibatan total rasa keagamaan, maka ketegangan antara gagasan-gagasan kebebasan individu dan keterikatan pada otoritas dalam konteks ini sangat tajam’.[3]
Terhadap pendapat Coulson tersebut, Muslehuddin menilai bahwa Coulson salah besar. Ia menyatakan, tidak ada seorang faqih atau hakim yang bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan hukum. Katanya, penafsiran atas nas, baik oleh ulama maupun hakim, tidak dapat mencapai status hukum jika tidak didukung oleh ijma’. Dapat ditarik benang merahnya bahwa dalam setiap penempatan sebuah hukum diperlukan sebuah status hukum yang jelas agar tidak ada kesalah pahaman.[4]
[1] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 28.
[2]http://www.islamcendekia.com/2014/01/makalah-karakteristik-hukum-islam.html?m=1, diakses 3 Maret 2016, Pukul 21.03 WIB.
[3] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 164-165.
[4] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 27.