Konsep Al-Mawardi tentang Imamah (Pemimpin)
Mayoritas
ulama abad pertengahan dan pakar politik Islam sepakat bahwa mengangkat
kepala negara merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam komunitasnya. Secara
implisit Allah banyak menyinggung dalam beberapa ayat al-Qur’an
tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin.
Meskipun demikian Islam tidak memberikan aturan baku bagaimana proses pemilihan
dan pengangkatan seorang kepala negara, dan Nabipun tidak memberikan
rambu-rambu yang jelas tentang kepemimpinan bagi generasisesudahnya. Akan
tetapi beliau menyerahkan kepada umatnya secara musyawarah untuk memilih orang
yang mereka kehendaki.
Fakta
sejarah politik Islam membuktikan,
proses pengangkatan kepala negara setelah wafatnya Nabi
Muhammad, yang dimulai dari Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengalami
perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat
dari proses pemilihan dan pembaiatan Abu
Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad melalui musyawarah, meskipun terjadi
perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansor.
Kemudian terpilihnya Umar Ibn Khathab sebagai
amirul mukminin setelah Abu Bakar melalui mandat yang diberikan oleh Abu Bakar
kepada Umar Ibn Khaththab. Sedangkan pemilihan Usman Ibn Affan sebagai
pengganti Umar Ibn Khaththab melalui musyawarah ahlul halli
wal aqdi (dewan pemilih) yang ditunjuk oleh Umar. Sementara Ali Ibn Abi Thallib
diangkat menjadi khalifah atas desakan para pengikutnya setelah melalui
pertikaian dan perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Adapun kekhalifahan
Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, tipu daya
dan pemberontakan. Kemudian ketika Muawiyyah akan turun
tahta, ia mengumumkan penggantinya kepada putaranya (Yazid).
Sejak itu pula sistem pengangkatan kepala
Negara dilakukan secara turun
temurun (memberikan mandat
kepada putra mahkota).
Imamah
(Kepemimpinan) Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa
imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus
urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi
dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini
Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju
politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai
pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat
politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan
di lain pihak pemimpin politik. Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan
antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan
bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa
ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
Dari sini
Mawardi mencoba memberikan solusi untuk mengurangi
otoritas kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih
demokratis dengan menciptakan blue print tentang prosedur pengangkatan
kepala negara. Menurut Mawardi, untuk memilih dan
mengangkat kepala negara dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama,
denga cara dipilih oleh ahlul-halli wal-aqdi, kedua,
dengan pemberian (penyerahan) mandat dari kepala negara
terdahulu (sebelumnya).