MAKALAH PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS
PENDAHULUAN
Hadis atauSunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Para muhadditsin dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak cukup hanya dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan hadits itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh karena itu harus terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai sanad tersebut. Dan kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadist yang dapat diterima dan tidak
Mengenai diterimanya hadits oleh para ulama hadits sendiri dibagi menjadi tiga yaitu hadits shahih, hasan dan dha’if. Ketiga hadits tersebut memiliki pengertian, macam-macam dan contohnya masing-masing. Selain itu hadits shahih, hasan dan dha’if juga memiliki kehujjahan yang menjadikan perdebatan. Maka dari itu pada makalah ini akan dipaparkan tentang permasalahan yang telah diuraikan sebagaimana pendahuluan disini
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hadits shahih, pembagian dan contohnya?
2. Apa pengertian hadits hasan, pembagian dan contohnya?
3. Apa pengertian hadits dha’if, pembagian dan contohnya?
4. Bagaimana kehujjahan hadits shahih, hasan dan dha’if?
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih dalam bahasa diartikan orang sehat jadi yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.[1] Dalam istilah yakni:
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شاذا معللا.
“Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[2]”
Pengertian hadis shahih di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk keshahihan sanad, sedang keterhindaran dari syudzudz dan ‘illat, selain merupakan kriteria untuk keshahihan sanad, juga kriteria untuk keshahihan matan hadis. Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya shahih belum tentu matan-nya juga shahih. Demikian pula sebaliknya, matan yang shahih belum tentu sanad-nya juga shahih. Jadi, keshahihan hadis tidak hanya ditentukan oleh keshahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh keshahihan matan-nya
Dari definisi di atas disimpulkan bahwa hadits shahih mempunyai 5 kriteria yaitu:
a. Persambungan sanad
Artinya setiap dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung atau secara hukum dari awal sanad sampai akhirannya. Persambungan sanad ada dua macam yaitu:
1) Pertemuan langsung (mubasyaroh), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan.
2) Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat.[3]
b. Keadilan para perawi
Dalam istilah periwayatan orang yang adil adalah:
Adil adalah orang yang konsisten istiqomah dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.[4]
Keadilan perawi merupakan factor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekang diri dari perbuatab maksiat dan hal-hal yang merusak harga diri.[5
a. Kedhabithan para rawinya
Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang kuat maupun dengan kitabnya (tulisannya selalu benar), kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkan.
b. Tidak terjadi kejanggalan atau rancu
Kerancuan (syudzudz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kerancuan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena par amuhaditsin menganggap bahwa kedhabithan telah mencakup potensi kemampuan rawi.
c. Tidak ada cacat
Hadits yang bersangkutana terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat. Rasionalisasi kebenaran ukuran keshahihan hadits adalah factor kedhabithan dan keadilan rawi dapat menjamin keaslian hadits seperti awal penerima hadits.
2. Macam-macam
a. Shahih lidzatih, shahih dengan sendirinya karena telah memenuhi 5 kriteria hadits shshih sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
b. Shahih lighayrih, shahih karena yang lain yaitu:
Hadits shahih lighayrih adalah hadits hasan lizdatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.
contohnya:
لو لا ان اشق على امتى لامرتهم بالسواك مع كل صلاة
Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya aku akan perintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan sholat.[6]
DAPATKAN FILE LENGKAPNYA DISINI
[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.149.
[2] Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.240
[3] Abdul Majid Khon, Op. cit. hlm.150
[4] Ibid. hlm.151
[5] Nuruddin. Op. cit. hlm.241
[6] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Grha Guru, 2008), hlm. 169.